Pemanasan Global dan Kita: Saatnya Mengambil Pilihan Penting  
email to friend  Kirim halaman ini buat teman    Cetak

Pemanasan Global dan Kita: Saatnya Mengambil Pilihan Penting

Dr. Dan Brook. & Dr. Richard Schwartz

Hadiah Nobel Tahun 2007 sama-sama diberikan kepada Al Gore dan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) atas upaya mereka dalam meneliti dan mempublikasikan bahaya perubahan iklim global. Pada kenyataannya, pemanasan global telah melampaui “sebuah kebenaran yang tidak menyenangkan”. Kita tengah membuat planet kita menjadi terlalu panas hingga mencapai tingkat yang membahayakan dengan konsekuensi terjadinya bencana. Tahun 2006 adalah tahun rekor terpanas di A.S. dan 11 dari 12 tahun belakangan ini adalah tahun rekor terpanas. Bayangkanlah sebuah mobil yang terlalu panas (dan apa yang kita kendarai), hidangan makan malam yang dimasak terlalu lama (dan apa yang kita makan), dan seseorang yang sakit demam (dan bagaimana cara kita bertindak) Sekarang bayangkanlah itu dalam skala planet.

Pemanasan global mungkin merupakan masalah sosial, ekonomi politik, moral, dan lingkungan terbesar yang dihadapi oleh planet kita dan para penghuninya. Pemanasan global merujuk pada meningkatnya rata-rata suhu udara dan air di Bumi. Orang-orang menjadi semakin sadar dan khawatir akan pemanasan global dan konsekuensinya, tanpa mempedulikan keterangan yang menyesatkan dari ExxonMobil dan pemerintahan Bush, karena sering munculnya laporan mengenai rekor suhu udara terpanas, kebakaran hutan; meningkatnya jumlah dan intensitas badai, kemarau; pencairan gletser, tanah es, dan kubah es kutub; naiknya permukaan air laut; banjir; perubahan arah angin; pengasaman lautan; ancaman kepunahan spesies; menyebarnya penyakit; penyusutan danau; tenggelamnya pulau-pulau; dan munculnya pengungsi-pengungsi akibat kondisi lingkungan. Kita mungkin berdiri di tepi jurang. Inspektur senjata PBB, Hans Blix telah mengatakan: “Bagi saya, masalah lingkungan lebih berbahaya daripada masalah perdamaian dan peperangan… Saya lebih khawatir tentang pemanasan global daripada tentang konflik militer besar manapun.”

Di penghujung tahun 2006, terdapat laporan mengenai setidaknya 3 peristiwa besar yang mendramatisasi ancaman pemanasan global saat ini:

(1)     Para penduduk di Pulau Lohachara di India harus dievakuasikan sebelum pulau itu tenggelam, dan jumlah pengungsinya mencapai lebih dari 10,000 orang;

(2)     Beting Es Ayles yang besar terlepas dari Arktik Kanada; dan

(3)     Pemerintahan Bush, yang telah menolak untuk menangani pemanasan global, dan secara umum memusuhi lingkungan, sependapat bahwa beruang kutub “terancam”, terutama karena mencairnya es yang disebabkan oleh pemanasan global, dan memasukkan beruang-beruang itu di bawah perlindungan hukum Undang-Undang Spesies yang Terancam Punah. 

Pemanasan global juga mengancam kepunahan pinguin, anjing laut, singa laut, kura-kura laut, salmon, gajah, kera, katak, kupu-kupu, burung, dan banyak hewan lainnya, dan mengancam sekitar sepertiga dari seluruh spesies. Sebaliknya, meningkatnya karbon dioksida dan makin panasnya suhu udara akan menyebabkan bertambahnya jumlah dan daerah rambahan nyamuk, yang selanjutnya memperluas penyebaran penyakit. “Perubahan iklim akan membahayakan kita masing-masing di seluruh penjuru dunia,” menurut Walikota New Paltz, Jason West, penulis buku Berani untuk Berharap, “tidak peduli berapa besar uang yang kita hasilkan atau berapa banyak doa yang kita panjatkan.”

Inilah puncak dari bencana lain yang terjadi baru-baru ini: runtuhnya beting es di Antartika dan Greenland; perisitiwa cuaca yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh penjuru dunia, misalnya Badai Katrina, Rita, dan Wilma; gelombang panas yang mematikan, yang menyebabkan rusaknya musim ski di Eropa dan merenggut nyawa sekitar 35.000 – 50.000 orang di Eropa pada musim panas tahun 2003; lenyapnya gletser dari Taman Gletser Nasional di Montana dan di tempat lainnya (sekitar 80% dari gletser dunia menyusut); parahnya kemarau di Australia dan di tempat-tempat lainnya; dan tanda-tanda bencana alam yang berbahaya lainnya. Tahun 2007 juga tidak memberikan tanda yang baik dengan adanya kemarau, kebakaran, banjir, badai, dan lebih banyak lagi. “Arah yang demikian bukan saja tidak-berkelanjutan” menurut Profesor dari Harvard, John P. Holdren, ketua Asosiasi Amerika untuk Pengembangan Illmu Pengetahun, “ini resep terjadinya bencana.”

Umat manusia terancam, bahkan barangkali belum pernah terjadi sebelumnya, dan perubahan besar-besaran harus dilakukan untuk menempatkan planet kita yang terancam ke arah yang berkelanjutan – dan dengan segera. Meskipun sejumlah kecil individu menentang pemanasan global, terdapat konsensus ilmiah dan lingkungan – di antara semua organisasi ilmiah dan lingkungan yang terkemuka, jurnal-jurnal, dan majalah, serta semua artikel tinjauan ilmiah– bahwa pemanasan global adalah nyata, serius, dan semakin memburuk, dan disebabkan oleh kegiatan manusia. Buktinya amat berlimpah dan satu-satunya perbedaan pendapat yang nyata adalah soal intensitasnya.

Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menerbitkan Laporan Asesmen Keempat pada bulan Februari 2007, yang diteliti dan ditulis oleh sekitar 2.500 orang ilmuwan selama 6 tahun terakhir dan disahkan oleh lebih dari 130 pemerintahan. Laporan itu dengan cermat menggambarkan kecenderungan jelas dan potensi bencana yang berhubungan dengan perubahan iklim, dengan memperingatkan kemungkinan dari perubahan tak terbalikkan, kecuali kita bersama-sama berupaya untuk melawan pemanasan global.

IPCC secara jelas menyatakan bahwa perubahan iklim sekarang ini dan proyeksinya ke depan bukanlah akibat “siklus alami”, tetapi “kemungkinan besar” (berarti setidaknya 90%) adalah akibat dari kegiatan manusia. Bahkan Majalah Time (dan Brookings Institution, Smithsonian, National Geographic, dan lain-lain) telah menyatakan bahwa “tak ada perdebatan lagi” soal masalah pemanasan global, hanya solusi yang masih dipertentangkan. Scientific American menyatakan bahwa persoalan pemanasan global “tak dapat dibantah”.

Beberapa ahli terkemuka, seperti James Hansen dari NASA dan fisikawan Stephen Hawking, mungkin adalah ilmuwan ternama yang masih hidup, dan juga Al Gore, memperingatkan bahwa perubahan iklim global mungkin mencapai suatu ‘titik puncak’ dan menjadi tak terkendalikan, atau mungkin terjun bebas, dengan konsekuensi bencana, jika kondisi sekarang ini tetap berlanjut. Laporan pemerintah Inggris baru-baru ini setebal 700 halaman, yang disusun oleh ekonom mantan kepala Bank Dunia, memproyeksikan hilangnya produk domestik bruto dunia hingga 20% pada tahun 2050 kecuali 1% dari produk domestik bruto dunia saat ini disisihkan untuk melawan perubahan iklim global. Penelitian ekonomi lainnya bahkan telah memproyeksikan skenario-skenario yang lebih buruk.

Karena itu, tidaklah mengejutkan jika Pentagon menyatakan bahwa pemanasan global adalah suatu ancaman yang bahkan lebih besar dari terorisme. “Bayangkan Jepang, yang menderita akibat banjir di sepanjang kota-kota pesisir pantainya dan pasokan air bersihnya terkontaminasi, memandang Pulau Sakhalin di Rusia yang memiliki cadangan minyak dan gas sebagai sumber energi”, peringatan Pentagon tentang pemanasan global.”Bayangkan masa depan Pakistan, India, dan China – semua dipersenjatai dengan senjata nuklir – bertempur di perbatasan negara mereka karena masalah pengungsi, akses menuju sungai yang digunakan bersama, dan lahan untuk bercocok tanam.” Penyusutan lapisan es Himalaya di Asia, Alpen di Eropa, Quelccaya di Peru (lapisan es terbesar di daerah tropis), dan Sierra di Kalifornia, seiring dengan perubahan dalam sistem sirkulasi termohalin (lingkaran perantara di lautan), dapat menyebabkan kehancuran. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki-moon, telah mengatakan bahwa perubahan iklim perlu dianggap serius seperti halnya perang dan, lebih jauh lagi, bahwa “adanya perubahan dalam lingkungan kita dan pergolakan yang ditimbulkannya mulai dari kekeringan hingga banjir di daerah-daerah pesisir pantai sampai lenyapnya lahan yang bisa dipakai untuk bercocok tanam kemungkinan menjadi penyebab utama perang dan konflik.” Melawan pemanasan global barangkali merupakan sebuah cara untuk mencegah perang di masa mendatang, sekaligus meningkatkan keamanan terhadap energi dan keamanan fisik.

Ada alasan lain yang dikuatirkan. Sementara kita secara tradisional telah berkomitmen terhadap keadilan sosial, orang-orang yang paling terpengaruh oleh pemanasan global adalah orang-orang miskin dan malang, karena mereka berada dalam posisi terlemah untuk melindungi diri terhadap kerusakan lingkungan dan mungkin sekali yang paling akan menderita. Di negara-negara terbelakang, dan mungkin terutama di China, India, dan Asia Tenggara, dan juga di Afrika serta Timur Tengah, pemanasan global akan sangat berpengaruh negatif terhadap sistem air minum kota, hasil pertanian, dan angkutan komersial dan lainnya di atas sungai, menyebabkan penderitaan yang tak terperikan, pengungsian, dan kekacauan.

Lebih jauh lagi, meningkatnya penderitaan dan bertambahnya jumlah pengungsi akibat masalah lingkungan, ditambah dengan kecemasan yang makin besar atas hak untuk mendapatkan makanan, air, tanah, dan perumahan – kebutuhan pokok dalam hidup – sering menciptakan situasi rawan yang memicu kemarahan, kekerasan etnis, terorisme, fasisme, dan peperangan, yang semuanya itu sering ditargetkan pada kaum minoritas. Persengketaan akibat perubahan iklim mungkin juga memunculkan makin banyak terorisme, selain kelaparan dan penyakit, yang dilakukan oleh orang-orang miskin dan radikal, menurut pendapat para ahli. “Mereka yang termiskin dari kaum miskin di dunialah, dan ini bahkan termasuk orang-orang miskin di dalam masyarakat yang makmur, yang akan mendapat pukulan terburuk,” kata Ketua IPCC, Rajendra Pachauri. Mereka yang merusak lingkungan untuk memuaskan kenikmatan mereka sendiri yang egois, melanggar berbagai ajaran Yahudi, adalah bagaikan Ratu Maria Antoinette di zaman pra-revolusi, yang mencetuskan ”Biarkan mereka makan karbon dioksida!”

Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Pusat Analisa Angkatan Laut yang didanai A.S., yang ditulis oleh sebelas orang pensiunan Jenderal A.S., menyatakan bahwa, “Dalam tingkat yang paling sederhana, [perubahan iklim berpotensi untuk menciptakan bencana alam dan bencana kemanusiaan yang berkelanjutan dalam skala yang jauh melampaui apa yang kita lihat sekarang ini.” Panel yang terdiri dari para jenderal, termasuk pensiunan Jenderal  Anthony Zinni, mantan komandan angkatan bersenjata A.S. di Timur Tengah, menggambarkan pemanasan global sebagai “suatu ancaman yang berlipat ganda terhadap ketidakstabilan di beberapa wilayah yang paling bergejolak di dunia,” yang bisa, “secara serius memperburuk standar kehidupan yang telah terbatas di banyak negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah, menyebabkan menyebarnya ketidakstabilan politik, dan kemungkinan gagalnya negara.”

Laksamana T. Joseph Lopez, mantan Panglima Tertinggi Angkatan Laut A.S. di Eropa dan Pasukan Sekutu di Eropa Selatan, sependapat bahwa perubahan iklim bisa menyediakan “kondisi dasar yang dicari oleh para teroris untuk disalahgunakan,” dengan cara demikian, keadaan bahaya menjadi bertambah buruk. Sebuah laporan yang dibuat oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada bulan Juni 2007 menyimpulkan bahwa konflik pemusnahan etnis di Darfur, Sudan berkaitan dengan pemanasan global, terutama karena hal itu memperbanyak kekeringan, dan laporan itu menyimpulkan bahwa krisis ini mungkin terulang di Afrika Utara dan di Timur Tengah. Direktur Eksekutif UNEP, Achim Steiner, mengingatkan kita bahwa terdapat “hubungan yang tak bisa dihindari” antara kerusakan lingkungan dan kondisi sosial. Sekali lagi, kita bisa melihat hubungan antara pola makan kita dengan lingkungan kita, antara apa yang kita makan dengan bagaimana kita hidup.

Ya, kita memerlukan pemerintah, perusahaan, sekolah, institusi keagamaan, dan organisasi lainnya untuk secara aktif terlibat dalam memerangi pemanasan global. Ya, A.S. – penyumbang terbesar pemanasan global – perlu bergabung dengan 175 negara lainnya dan meratifikasi Protokol Kyoto - lalu memperkuat hal itu. Ya, kita perlu menghentikan penebangan hutan dan meningkatkan penanaman hutan kembali. Ya, kita perlu melestarikan sumber daya alam dan lebih banyak lagi mobil, peralatan, elektronik, baterai dan bola lampu yang hemat energi, dan, ya, masyarakat kita perlu beralih dari bahan bakar fosil dan menuju ke arah energi yang bisa diperbaharui, misalnya, energi surya, angin, ombak, pasang-surut, biomas, panas bumi, dan yang lainnya. Tetapi, sementara kita bergulat untuk perubahan sosial yang penting dan positif yang berskala besar ini, kita juga perlu berkata “ya!” untuk perubahan pribadi.

Pada kenyataannya, laporan IPCC yang terbaru menyatakan bahwa “Perubahan dalam gaya hidup dan pola konsumsi yang menekankan pelestarian sumber daya alam dapat memberikan sumbangan pada pengembangan kegiatan ekonomi yang rendah-karbon yang adil dan juga berkelanjutan.” Sebuah penelitian besar menunjukkan bagaimana”perubahan dalam gaya hidup dan konsumsi” pribadi bisa mempengaruhi pemanasan global dimuat dalam laporan setebal buku pada bulan November 2006 dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), berjudul “Livestock’s Long Shadow” (Bayang-Bayang Panjang Peternakan) [http://www.fao.org/newsroom/en/news/2006/1000448]. Laporan itu menyatakan bahwa peternakan menyumbang sekitar 18% emisi gas rumah kaca, yang mengakibatkan pemanasan global, suatu jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sumbangan semua bentuk transportasi di atas planet ini (sekitar 13.5%). Penulis senior Dr. Henning Steinfield, Ph.D., menambahkan bahwa “Peternakan adalah salah satu penyumbang yang paling signifikan terhadap masalah lingkungan yang paling serius di saat ini,” dari tingkat lokal hingga tingkat global.

Mobil-mobil tetap saja menjadi masalah, tentu saja, tetapi sapi-sapi dan hewan lainnya yang dipelihara untuk konsumsi manusia menyumbang lebih banyak pemanasan global, dengan demikian berarti, menyebabkan kerusakan yang lebih besar bagi kehidupan kita. Oleh karena itu, apa yang kita makan sesungguhnya lebih penting dari apa yang kita kendarai, dan perubahan pribadi yang paling penting yang bisa kita lakukan bagi lingkungan, dan juga untuk kesehatan kita sendiri dan untuk hidup hewan-hewan, adalah dengan beralih ke vegetarisme. Dan kita bisa melakukannya sekarang ini, jika kita memilih untuk melakukan hal itu.

Dunia memberi makan ke lebih dari 50 miliar hewan ternak, sementara jutaan orang, kebanyakan anak-anak, kelaparan hingga meninggal dunia setiap tahun. Lebih dari 70% biji-bijian yang diproduksi di A.S. (dan sekitar sepertiga dari yang diproduksi di seluruh dunia) secara tidak efisien dan tidak bermoral dialihkan untuk memberi makan hewan-hewan ternak, untuk memuaskan selera demi uang dan daging, karena dibutuhkan 16 pon biji-bijian untuk memproduksi satu pon sapi untuk konsumsi manusia. Penelitian FAO PBB melaporkan bahwa industri peternakan, secara total, menggunakan dan menyalahgunakan sekitar 30% dari permukaan tanah di atas planet, karena itu, “berkompetisi langsung [dengan usaha lainnya] untuk memperoleh lahan, air, dan sumber daya alam lainnya yang sukar didapatkan.” Selain itu, pemakaian tanah secara berlebihan oleh hewan ternak, memicu pemakaian berlebihan bahan bakar dan air,  dan juga merusak tanah, mengikis humus, serta mencemari air di sekitarnya, yang akibat selanjutnya menciptakan masalah lingkungan dan masalah kesehatan lain.

Pola makan hewani juga memakai energi dengan amat tidak efisien. Pola makan hewani membutuhkan78 kalori bahan bakar fosil untuk setiap kalori protein yang dihasilkan dari daging sapi, tetapi hanya 2 kalori bahan bakar fosil yang diperlukan untuk memproduksi 1 kalori protein yang berasal dari kacang kedelai. Biji-bijian dan kacang-kacangan hanya membutuhkan 2-5% bahan bakar fosil dari yang dibutuhkan untuk daging sapi. Energi yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 pon daging sapi yang diberi makan dengan biji-bijian setara dengan satu galon bensin. Mengurangi konsumsi energi bukan hanya merupakan pilihan yang lebih baik dalam kaitan dengan memerangi perubahan iklim, hal ini juga merupakan pilihan yang lebih baik dalam kaitan dengan menjadi kurang tergantung terhadap minyak dari negara asing dan perubahan aneh sikap pasar maupun para diktator.

Selain itu, para editor dari World Watch (Juli/Agustus 2004) menyimpulkan bahwa “Selera manusia terhadap daging hewan sebenarnya adalah pemicu di balik setiap kategori utama kerusakan lingkungan yang sekarang ini secara nyata mengancam masa depan manusia – penebangan hutan, erosi, kelangkaan air bersih, polusi udara dan air, perubahan iklim, lenyapnya keragaman makhluk hidup, ketidakadilan sosial, membuat ketidakstabilan dalam masyarakat, dan penyebaran penyakit.” Lee Hall, direktur hukum Friends of Animals, mengungkapkannya dengan lebih lugas: “Sebenarnya secara nyata di balik setiap masalah lingkungan yang besar, terdapat susu dan daging.” Kita mengotori tempat tinggal kita sendiri dan bau busuknya menjadi tak tertahankan.

Sementara makin banyaknya kekhawatiran mengenai pemanasan global bisa diterima, besarnya kaitan antara meningkatnya Standar Pola Makan Amerika (SAD) di seluruh dunia dengan pemanasan global secara umum diabaikan atau dikesampingkan. Produksi daging amat banyak berkontribusi terhadap emis tiga gas utama yang berkaitan dengan pemanasan global: karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida(N2O), dan juga gas-gas perusak lingkungan lainnya misalnya amonia (NH3), yang menyumbang hujan asam, dan hidrogen sulfida (H2S), yang dikaitkan dengan kepunahan massal.

Sesungguhnya, menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), sebuah Badan Perubahan Iklim, “Terdapat hubungan yang kuat antara pola makan manusia dengan emisi metana dari hewan ternak.” Publikasi World Watch tahun 2004, Keadaan Dunia (State of the World), lebih spesifik dalam penjelasan mengenai kaitan antara hewan-hewan yang diternakkan untuk mendapatkan dagingnya dengan pemanasan global: “Sendawa, gas dari saluran pencernaan hewan ternak, menyumbang 16% metana dunia setiap tahun, sebuah gas rumah kaca yang amat kuat.” Demikian juga dengan terbitan Physics World edisi bulan Juli 2005: “Hewan-hewan yang kita makan mengeluarkan 21% dari semua karbon dioksida yang disebabkan oleh kegiatan manusia.” Mengkonsumsi daging dan produk hewan lainnya secara langsung berkontribusi terhadap industri yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan ini dan dampaknya yang merusak lingkungan, termasuk ancaman yang mengerikan dari pemanasan global.

Sementara karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang tersedia paling melimpah (dan sekarang ini sekitar 35% lebih tinggi daripada saat zaman pra-industri), metana 23 kali lebih kuat (dan sekitar 150% lebih tinggi daripada saat zaman pra-industri), dan dinitrogen oksida 296 kali lebih berbahaya (dan sekitar 20% lebih tinggi daripada saat zaman pra-industri) daripada karbon dioksida dalam kaitannya dengan potensi pemanasan global.

Karena industri peternakan mengeluarkan jumlah gas metana yang sedemikian besar dan karena gas metana menurun tingkatannya di dalam atmosfer secara relatif lebih cepat (sekitar 12 tahun dibandingkan dengan ratusan atau bahkan ribuan tahun untuk karbon dioksida), penurunan tajam konsumsi hewan, dan dengan demikian berarti mengurangi produksi dan pengembangbiakan hewan ternak, akan menyebabkan pengurangan dalam waktu singkat pemanasan global yang berpotensi menjadi “tak terkendalikan”. Jika kita mengetahui bahwa Al Qaeda secara rahasia mengembangkan teknik teroris baru yang bisa mengacaukan pasokan air di seluruh penjuru dunia, memaksa puluhan juta orang mengungsi, dan berpotensi membahayakan keseluruhan planet kita,” tulis kolumnis New York Times, Nichola Kristof, ”kita akan kalut dan mengerahkan segala sesuatu yang mungkin untuk menetralisir ancaman itu. Namun, itulah persisnya, ancaman yang kita ciptakan sendiri, dengan gas-gas rumah kaca kita.”

Beralih dari Pola Makan Standar Amerika ke pola makan vegetarian atau yang lebih baik lagi, pola makan vegan, menurut ahli geofisika, Gidon Eshel dan Pamela Martin dari Universitas Chicago, lebih ampuh untuk memerangi pemanasan global ketimbang beralih dari Hummer yang menyedot banyak bensin ke mobil Camry atau dari mobil Camry ke mobil Prius. Beralih dari mobil SUV atau gaya hidup SUV, dan diet gaya SUV, ke alternatif yang lebih hemat energi, yang menopang kehidupan, penting untuk memerangi pemanasan global. Keberlanjutan planet dan kesejahteraan umat manusia amat bergantung pada peralihan ke pola makan nabati. Suatu cara yang mudah dan efektif untuk memerangi pemanasan global setiap hari adalah dengan garpu dan pisau kita! Jika kita tidak melakukan hal itu, “hukuman karena menundanya” akan amat menyakitkan. “Betapa indahnya itu,” tulis Anne Frank di dalam diarinya, dimana tidak ada orang yang perlu menanti sebelum mulai memperbaiki dunia ini.”

Amatlah jelas bahwa menghilangkan, atau setidaknya pengurangan tajam, produksi dan konsumsi daging serta produk hewan lainnya amat penting untuk membantu mengurangi pemanasan global dan ancaman lingkungan lainnya yang berbahaya, selain bermanfaat bagi kesehatan jasmani, mental, dan spiritual seseorang.

Mark Twain suatu kali pernah menyindir bahwa ”Setiap orang berbicara soal cuaca, tetapi tak seorang pun yang pernah berbuat sesuatu untuk hal itu.” Sekarang kita bisa.

---------------------------------------------

Dan Brook, Ph.D. adalah seorang penulis, pembicara, aktivis, dan pengajar sosiologi di San Jose State University. Ia juga mengurusi Eco-Eating di www.brook.com/veg, The Vegetarian Mitzvah di www.brook.com/jveg, No Smoking? di www.brook.com/smoke, dan menyambut komentar lewat Brook@california.com.

Dr. Richard H. Schwarts adalah penulis Yahudiisme and Vegetarianisme, Yahudisisme dan Keberlangsungan Hidup Dunia, dan lebih dari 150 artikel yang ada di www.JewishVeg.com/schwartz. Ia adalah Ketua Vegetarian Yahudi di Amerika Utara (JVNA), lihat di www.JewishVeg.com, koordinator Lembaga Etika dan Kereligiusan Vegetarian (SERV), lihat di www.serv-online.org dan menyambut komentar lewat President@JewishVeg.com.